Now Loading

Tantangan Hugo

Kepanikan mulai merambat menuju titik puncak. Tidak ada yang bersuara, kecuali dengungan seperti lebah pindah sarang. Bisik-bisik yang terdengar dipenuhi rasa takut.

“Bagaimana kamu tahu dia Hugo? Padahal jarak dari tenda putri tempat kalian berkumpul ke tenda ini lumayan jauh dan cukup gelap?” tanya Wiro.

“Aku...aku tadi sempat mendekat,” jelas Yanto terbata-bata. “Jelas itu Hugo. Lagi pula cairannya di wajahnya masih menetes. Aku yakin sekali itu darah!”

“Mungkin dia yang memenggal Jumadi dan darahnya muncrat ke wajahnya,” celetuk seseorang.

“Benar, dia tidak sempat cuci muka karena keburu ketahuan oleh kita,” dukung yang lain.   

Wiro mengangguk. Dia meminta beberapa temannya untuk mendekati pintu tenda. Wiro sendiri berada paling depan sambil memegang balok kayu

“Hugo, aku tahu kamu di dalam. Keluarlah,” ujar Wiro. Suaranya masih rendah, meski penuh tekanan. Namun dia gagal menyembunyikan rasa takutnya.

“Iya, Hugo, keluarlah!” teriak Dini dari belakang Wiro.

Tidak terdengar aktifitas apapun dari dalam tenda. Tanpa dikomando, sejumlah orang ikut berteriak memanggil nama Hugo. Namun tetap saja tidak ada tanda-tanda seseorang mau keluar.  .

“Kita timpuki saja!”

“Iya, kita robohkan saja tendanya!”

“Jangan ambil resiko. Lebih baik kita bakar saja,” tegas Seno.

Wiro mengangkat tangan menyuruh teman-temannya diam. Perlahan ia menyibak pintu tenda. Beberapa temannya ikut maju sehingga Wiro hampir terjatuh. Semua ingin menjadi orang pertama yang melihat Hugo meski mereka juga merasa takut jika dugaan mereka terbukti. Pasti Hugo tengah bersiap di dalam tenda dengan pisau terhunus, pikir mereka.

Namun alangkah terkejutnya mereka ketika melihat Hugo tengah tidur dengan posisi tengkurap. Dekurnya terdengar tidak teratur. Perlahan Wiro melangkah masuk namun tetap dengan kewaspadaan tinggi.  Ia menyentuh kaki Hugo dan menggoyangnya.

“Hugo, bangun...bangun!”

Hugo menggeliat. Ia membalikkan badan sambil mengucek-ucek mata. Wiro terkesiap melihat wajah Hugo; tidak ada darah di sana. Bahkan dari caranya bangun, bisa dipastikan jika Hugo sudah tidur cukup lama. Melihat banyak orang berkerumun di depan pintu tenda, Hugo langsung bangit dan duduk dengan wajah kebingungan.

“Ada apa ini?” tanyanya pada Wiro.

“Ee...entahlah. Panjang ceritanya. Mengapa kamu tidur di sini?”

“Aku ngantuk sekal.”

“Di mana Jumadi?”

“Jumadi? Bukankah dia sudah balik ke tenda? Tadi dia yang membawa kayu bakar. Karena aku pikir kalian masih akan melanjutkan acara api unggun, ya sudah, aku tidur duluan.”

“Hugo! Coba kamu keluar dulu!” teriak seseorang dengan kesal. “Coba kamu lihat kepala Jumadi!”

“Ada apa dengan Jumadi?” tanya Hugo keheranan. Tapi dia tetap berdiri dan melangkah keluar. Beberapa temannya mundur untuk memberi jalan. Merasa tatapan mata teman-temannya begitu ketakutan, Hugo pun  mengernyitkan kening, “Ada apa sebenarnya?”

“Jangan pura-pura! Kamu pasti tahu kalau kepala Jumadi dipenggal orang!”

“Dipenggal? Di mana?” seru Hugo.

Wiro semakin bingung dengan situasi ini. Keterkejutan Hugo ketika mendengar kepala Jumadi dipenggal, tidak dibuat-buat. Hal itu bisa diketahui dari intonasi suaranya. Tadi Wiro juga sempat memeriksa bekas tempat tidur Hugo, dan sama sekali tidak ada bekas darah di sana. Apa yang sebenarnya terjadi, pikir Wiro. Ataukah Yanto hanya menggigau?

“Kepalanya ditancapkan pada batang pohon di belakang tenda. Kamu pelakunya, kan?”

“Jangan sembarang menuduh,” sahut Hugo dengan nada tidak senang sambil mengedarkan tatapannya ke tengah kerumunan teman-temannya. Namun  ia tidak tahu siapa yang tadi bersuara.

“Mari kita lihat kepala Jumadi,” ajak Wiro akhirnya.

Beramai-ramai mereka menuju ke belakang tenda di mana tadi mereka menemukan kepala Jumadi. Namun, lagi-lagi mereka dibuat terkejut karena kepala Jumadi sudah tidak ada. Mereka hanya menemukan kapak yang berdarah.

Ketakutan menyebar ke semua peserta kemah. Mereka saling merapatkan tubuh ke teman yang ada di dekatnya. Suara hewan malam sesekali terdengar di kejauhan, membuat bulu mereka kian merinding. Namun mata mereka bergerak ke segala arah. Bukan mencari kepala Jumadi namun sebagai ekspresi sikap waspada karena takut mendapat serangan mendadak dari musuh yang belum terlihat.

Semua peserta kemah kini berada di tempat itu, berdiri bergerombol. Namun tidak ada satu pun dari mereka berani memungut kapak berlumuran darah yang tergeletak di depan mereka. Kapak itu justru menjadi magma yang menyebarkan ketakutan akan datangnya kematian mendadak yang bisa menimpa siapa saja.

“Mana kepala Jumadi? Di mana, ayo tunjukan?!” ujar Hugo memecah kebisuan.

“Ya, di mana kepala Jumadi?” guman beberapa orang.

“Alahhh...kalian ini bercanda saja. Tidak ada kepala Jumadi. Dia mungkin sedang buang air besar,” ejek Hugo.

“Aku serius, Hugo. Aku tadi melihat dengan mataku sendiri, kepala Jumadi tertancap di sana,” ujar Wiro sambil menunjuk ke batang pohon.

“Buktinya mana? Tidak ada kan?” cibir Hugo. “Kalian ini hanya ingin menjelek-jelekkan aku. Menuduh sembarangan tanpa bukti!”

“Mungkin dia dibawa oleh mahluk gaib,” celetuk seseorang.

“Makluk gaib? Mana ada mahluk gaib di sini…”

“Bagaimana soal pembantaian anak-anak SMP dulu?” seseorang meneruskan argumennya..

“Sekarang mari kita buktikan,” kata Hugo. “Kalau memang ada, aku mau tantang mahluk gaib penguasa hutan ini!”

“Jangan Hugo,” teriak Dini. “Bukankah kita sudah diingatkan oleh penjaga hutan agar…”

“Ah, sudah, diam saja!” potong Hugo. Dini dan beberapa orang kaget mendengar bentakan Hugo. “Sejak dulu kalian memang tidak suka padaku!”

Selesai berkata seperti itu, Hugo berlari ke tengah hutan. Teman-temannya segera mengejarnya. Namun langkah mereka terhenti ketika mendengar teriakan Hugo.

“Hai setan dedemit penguasa hutan Pengker! Keluarlah kalian jika berani! Aku Hugo, datang untuk menantangmu!”

Sesaat kemudian hening. Hanya suara langkah kaki tak beraturan yang terdengar. Wiro dan teman-temannya mendekat ke arah Hugo dengan perasaan campur-aduk.

“Ayo, penguasa hutan Pengker, keluarlah. Hadapi aku!” teriak Hugo lagi.

Kini Wiro dan teman-temannya hanya beberapa langkah dari Hugo yang tengah menengadah di bawah pohon besar. 

“Kalian semua pengecut! Kalian ...”